KPPU Kanwil I Bantu Proses Penyelidikan Kasus Minyak Goreng

REDAKSI
Jumat, 22 April 2022 - 20:07
kali dibaca
Ket Foto : Kepala Kanwil I Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ridho Pamungkas.

Mediaapakabar.com
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI baru saja menetapkan empat tersangka kasus dugaan pemberian fasilitas izin ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya.

Keempatnya merupakan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dir Daglu) Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana (IWW).


Kemudian, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA (SMA), Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) Master Parulian Tumanggor (MPT), dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pcare Togar Sitanggang (PT).


Menanggapi hal tersebut, Kepala Kanwil I Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ridho Pamungkas memberikan apresiasi kepada pihak Kejagung RI.


Terkuaknya dugaan gratifikasi pemberian izin penerbitan persetujuan ekspor (PE) dari Kemendag kepada tiga perusahaan swasta tersebut semakin menguatkan sinyal kartel adanya perilaku penahanan atau pengalihan pasokan yang mempengaruhi suplai minyak goreng dalam negeri.


Sejak awal, Ridho telah menduga adanya sinyal kartel dalam kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) Kebijakan DMO adalah mengalokasikan 20 persen dari ekspor untuk kebutuhan industri minyak goreng dalam negeri.


Dalam hitungan pemerintah, kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng akan terpenuhi dari alokasi DMO, namun nyatanya banyak industri yang mengaku kesulitan memperoleh CPO dengan harga penetapan pemerintah tersebut,” ungkap Ridho, Jumat (22/4/2022).


Menurutnya, ada perilaku pelaku usaha yang tidak mengikuti kebijakan DMO hingga menyebabkan pasokan untuk input minyak goreng domestik terbatas.


Ridho menjelaskan, unsur kartel pada perilaku ekspor minyak goreng itu memang mesti memperlihatkan adanya perjanjian atau kesepakatan antara pelaku usaha dalam mengatur produksi.


Ketiga perusahaan tersebut, kata dia, baik secara sendiri-sendiri atau bersama, berkomunikasi secara intens dengan pihak yang memberikan izin ekspor agar tetap menerbitkan izin ekspor meskipun mereka bukanlah entitas usaha yang berhak mendapat persetujuan ekspor.


Pasalnya, tutur Ridho, ketiga perusahaan tersebut merupakan entitas usaha yang mendistribusikan CPO tidak sesuai dengan harga penjualan di dalam negeri atau Domestic Price Obligation (DPO).


“Maka dapat disinyalir ada perilaku yang terkoordinasi di antara pelaku usaha dalam membuat kelangkaan minyak goreng di pasar,” ujarnya.


Selain itu, ketiga perusahaan swasta yang terlibat dalam dugaan gratifikasi ini sendiri merupakan bagian dari 8 grup besar dalam industri minyak goreng nasional yang tengah diselidiki oleh KPPU.


Tidak menutup kemungkinan jumlah yang terlibat dalam kasus pemberian fasilitas ekspor akan terus bertambah. Jika itu yang terjadi, maka akan semakin memperkuat dugaan adanya kartel minyak goreng. Ditegaskannya, KPPU sendiri tetap akan menjalankan proses penyidikan karena titik fokus antara kedua lembaga berbeda. 


KPPU fokus pada perilaku pelaku usaha/perusahaan (bukan individu) khususnya dalam membuktikan ada tidaknya tindakan koordinasi yang menyebabkan kartel harga, kartel produksi, atau kartel pemasaran.


Sebagaimana diketahui, ketiga perusahaan swasta yang disebutkan oleh Kejagung berasal atau memiliki pabrik minyak goreng di Sumatera Utara. Sebelumnya, KPPU telah memanggil 9 pihak.


Tujuh pihak tidak memenuhi panggilan penyidikan, termasuk empat produsen, yakni PT Sinar Alam Permai (Wilmar Group), PT Nubika Jaya (Permata Hijau Group), PT Permata Hijau Sawit (Permata Hijau Group), dan PT Asianagro Agungjaya (Royal Golden Eagle Group). Atau dapat dikatakan, 3 dari 4 perusahaan yang tidak memenuhi panggilan pertama KPPU, terlibat dalam kasus yang ditangani Kejagung.


Kanwil I KPPU menyatakan akan membantu sepenuhnya kelancaran proses penyelidikan yang dilakukan KPPU Pusat, mengingat Sumatera Utara memiliki banyak produsen minyak goreng.


Ridho berharap ke depan seluruh pelaku usaha yang dipanggil KPPU dalam penyelidikan segera hadir untuk memberikan data dan keterangannya kepada KPPU.


Dijelaskannya, sesuai Pasal 41 UU No 5 Tahun 1999, pelaku usaha yang menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan dapat diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


“Kami yakin setelah kejadian ini, pelaku usaha akan bersikap kooperatif dengan KPPU,” tegasnya. (IK)

Share:
Komentar

Berita Terkini