Ket Foto : Ilustrasi. |
Mediaapakabar.com - Sejak awal eksistensinya, kita ketahui bahwa Kejaksaan Republik Indonesia (RI) adalah satu-satunya lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan.
Seiring dengan perjalanan tersebut, Kejaksaan yang telah mengalami 25 kali pergantian kepemimpinan Jaksa Agung telah melakukan berbagai perubahan, salah satu di antaranya yakni tata cara kerja Kejaksaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.
Hal itu dilihat dari bergesernya orientasi hukum tindak pidana, yang semula menekankan pada aspek pembalasan yakni berupa pemidanaan terhadap pelaku kejahatan, kini Kejaksaan lebih mengutamakan penerapan hukum berdasarkan hati nurani demi menjaga nilai kemanusiaan dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
Nah, untuk mewujudkan pemulihan keadilan bagi masyarakat itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin yang dipercaya menjabat sejak 23 Oktober 2019 lalu, kini telah melakukan terobosan hukum dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).
Terbitnya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif itu dapat menjadi harapan baru bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana di Indonesia serta dapat mengurangi pengeluaran anggaran keuangan negara.
Seperti halnya dikatakan ahli Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. Ediwarman SH, M.Hum ketika dimintai tanggapannya terkait penerapan keadilan restoratif.
Dirinya pun mengaku sangat mendukung dengan adanya penerapan keadilan restoratif atau restorative justice yang diterbitkan Jaksa Agung melalui Perja No 15 Tahun 2022. Menurutnya, penerapan RJ itu sangat bagus sesuai dengan asas ultimum remedium yakni hukum pidana menjadi jalan terakhir dan tidak boleh digunakan pada tahapan awal penegakan hukum.
Sebab, kata pria kelahiran 25 Mei 1954 ini, penerapan RJ juga dapat mengurangi permasalahan over kapasitas penjara di Rutan maupun di dalam Lapas yang ada di wilayah Indonesia serta dapat mengurangi pengeluaran keuangan negara.
Jadi, sambungnya, penerapan RJ itu dalam rangka mengurangi over kapasitas penjara, jangan sampai orang-orang yang melakukan tindak pidana ringan langsung dimasukkan ke penjara, akibatnya yang menjadi korban nantinya, ya negara, karena keuangan negara akan terus bertambah.
Ia berharap penerapan keadilan restoratif ini dapat terus direalisasikan agar dapat memperbaiki sistem keadilan bagi masyarakat.
Kenapa? Karena menurut ahli Hukum Pidana ini bahwa Keadilan restoratif itu yang diutamakan dilakukan terlebih dahulu, setelah itu baru penerapan hukum untuk terakhir.
Oleh karenanya, ia berharap keadilan restoratif dapat direalisasikan oleh aparat hukum lainnya dalam mendukung keadilan restoratif dalam perkara pidana yang bersifat ringan, sesuai dengan asas ultimum remedium.
Hal yang sama juga disampaikan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sumatera Utara (Sumut) Erwedi Supriyatno. Ia mendukung penerapan keadilan restoratif.
Erwedi mengatakan terkait Restorative Justice, kami Kementerian Hukum dan Ham sangat mendukung, karena itu menjadi salah satu target kinerja dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk mendorong pelaksanaan Restorative Justice di masing-masing wilayah, karena Restorative Justice jika betul-betul dilaksanakan sangat berpengaruh terhadap kondisi over kapasitas yang ada di Rutan maupun di Lapas.
Selain itu, sambung Erwedi, bahwa penerapan keadilan restoratif dapat menjadi harapan baru bagi para pencari keadilan dan mengurangi pengeluaran anggaran keuangan negara.
Dia berharap, tidak semua pelaku tindak pidana itu dimasukkan kedalam penjara, seperti pidana ringan bisa diselesaikan diluar pengadilan. Nah, kalau semua pelaku dipidana penjara, tentu banyak yang berpengaruh diantaranya pengeluaran keuangan negara, seperti halnya dengan memberikan makan para narapidana, jadi kalau ada keadilan restoratif, maka pengeluaran keuangan negara itu akan berkurang. Jadi kami sangat setuju pemberlakuan RJ tersebut.
Kendati demikian, kata Erwedi, sebagai masukan bahwa restorative justice itu juga harus benar-benar dapat diperhatikan dalam pelaksanaannya, jangan sampai dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, apalagi penyelesaiannya di luar pengadilan.
Jadi, sambung mantan Kalapas Tanjung Gusta ini, pelaksanaannya harus benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan restorative justice agar tidak disalahgunakan.
Sementara itu, menurut penulis peraturan yang diterbitkan pada tanggal 21 Juli 2020 itu dapat menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang, baik itu bagi korban dan pelaku serta mengedepankan pemulihan terhadap korban dengan mendapatkan ganti rugi atas apa yang telah dideritanya, sementara, keadilan yang didapat pelaku yakni tidak lagi menjalankan hukuman di balik dinginnya jeruji besi atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Selain mengedepankan pemulihan, restorative justice juga memiliki ketegasan, bahwa tindak pidana diatas hukuman 5 tahun penjara tidak bisa diterapkan keadilan restoratif.
Ketegasan ini juga berlaku untuk narapidana (residivis) dan pelaku yang pernah mendapatkan RJ, apabila kembali melakukan tindak pidana, maka pelaku tersebut tidak akan mendapatkan keadilan restoratif.
Selain itu, guna mengambil keputusan dalam proses pelaksanaan RJ, Jaksa Agung juga telah meresmikan rumah restorative justice di berbagai wilayah dengan tujuan untuk menegakan keadilan dalam menyelesaikan segala permasalahan di tengah masyarakat.
Penulis : Aris Rinaldi Nasution SH