Yusril Ihza Mahendra soal Nama Soeharto Dihapus dari TAP MPR: Hargai Pemimpin di Masa Lalu

REDAKSI
Senin, 30 September 2024 - 10:03
kali dibaca
Ket Foto: Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Mediaapakabar.com
- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pencabutan nama Presiden ke-2 Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), merupakan keputusan yang sangat penting. Yusril menekankan pentingnya menghargai pemimpin di masa lalu.

"Memang ini suatu keputusan penting untuk bangsa dan negara kita. Sebab kita ini menghargai para pemimpin kita di masa lalu. Karena pemimpin itu harus kita tempatkan pada konteks zamannya. Kita tidak bisa menilai masa yang lalu dengan masa kini," ujarnya dilansir dari kompas, Senin (30/9/2024).

Yusril juga menjelaskan bahwa pada hari ini, Sabtu (28/9/2024), pimpinan MPR akan bersilaturahmi dengan keluarga Soeharto. Ia mengaku diundang untuk menghadiri silaturahmi tersebut sebagai sosok yang pernah membantu Soeharto.

Namun, Yusril menyatakan permohonan maaf karena tidak dapat hadir. "Karena saya ada kegiatan yang sudah dijadwalkan. Tapi saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan MPR," ungkapnya. 

Menurut Yusril, keputusan ini membuka peluang bagi Presiden untuk memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia juga menyarankan agar gelar serupa diberikan kepada Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang namanya juga dicabut dari TAP MPR.

"MPR itu hanya menyatakan bahwa TAP terkait dengan Gus Dur itu sudah selesai. TAP terkait dengan Pak Harto malah sudah dilaksanakan. Bahkan disebutkan secara tegas Pak Harto kan, dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, disebutkan itu mengambil suatu langkah hukum terhadap Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya itu yang disebut. Terhadap Pak Harto-nya sendiri itu sudah selesai," jelas Yusril. 

"Dan saya merupakan saksi sejarah tentang hal itu. Karena pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, hakim-hakim itu masih di bawah saya pada waktu itu. Pak Harto tapi tidak bisa diadili. Dan ketika saya jadi Mensesneg saya bertemu Pak Harto di RS Pertamina pada waktu itu. Dan Pak Harto berbicara pribadi dengan saya, mengenai status beliau yang sampai saat itu masih terdakwa," sambungnya. 

Usai mendengar curhatan Soeharto, Yusril pun mengambil langkah sebagai Mensesneg di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menyebut keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Soeharto juga sudah disetujui SBY. 

"Pemerintah ambil keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Pak Harto karena beliau memang tidak bisa diadili," kata Yusril. 

"Jadi sebenarnya TAP MPR itu sendiri memang betul sudah dilaksanakan. Apalagi beliau sudah berpulang, sudah tidak ada lagi. Secara pidana kan tidak mungkin menuntut orang yang sudah meninggal," imbuhnya. 

Sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) Nomor 11 Tahun 1998. Keputusan tersebut diambil dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024 yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2024). 

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa pencabutan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 merupakan tindak lanjut dari permintaan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) di MPR. 

Permintaan tersebut disampaikan dalam surat tertanggal 18 September 2024, dan keputusan pencabutan telah diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September lalu. Meskipun demikian, Bamsoet menegaskan bahwa TAP MPR masih berlaku secara yuridis. 

"Status hukum TAP MPR Nomor XI tahun 1998 tersebut dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/R 2003," ujarnya. 

Namun, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal 4 TAP MPR XI/MPR/1998 dianggap selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.

"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut, secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” ujar Bamsoet. (KC/MC)
Share:
Komentar

Berita Terkini