Ahli Hukum Perdata di Persidangan: HGB PT Jaya Beton Indonesia Cacat

REDAKSI
Selasa, 05 November 2024 - 21:20
kali dibaca

Mediaapakabar.com
- Pihak penggugat menghadirkan saksi Ahli Hukum Perdata dalam sidang lanjutan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) berupa penguasaan lahan seluas 13 hektare senilai Rp642 miliar lebih yang diduga dilakukan PT Jaya Beton Indonesia (JBI).

Dalam persidangan yang digelar di Ruang Sidang Cakra 5 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Prof.Dr.Tan Kamello, S.H.,M.S.,FCBArb selaku Ahli Hukum Perdata dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) menyebut bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki PT JBI sebagai pihak tergugat cacat.

Ungkapan itu bukan tanpa alasan, Tan Kamello mengatakan karena tidak beritikad baiknya pihak tergugat sebagai pembeli lahan seluas 13 hektare tersebut.

"Saya berani mengatakan cacat, karena berdasarkan logika hukum yang ada dalam KUHPerdata jelas diatur harus ada peristiwa yang mendasari adanya PMH," sebutnya, Selasa (5/11).

Dikatakan Tan Kamello, HGB itu bisa diperbaiki apabila pihak tergugat memiliki itikad baik untuk memperbaikinya. Namun, apabila tak memiliki itikad baik itu, maka pengadilan berwenang untuk membatalkan HGB tersebut.

"(Harus) diperbaiki kalau betul dia beritikad baik. Kalau enggak, itu dapat dibatalkan lewat pengadilan. Artinya, orang yang membeli ini memang orang yang mungkin beritikad baik dan mungkin buruk. Kalau dia beritikad baik, maka dia selidiki terkait apakah turun direksinya atau tidak," jelasnya.

Tan Kamello pun mengatakan bahwa dalam transaksi jual beli lahan tersebut, pihak pembeli tidak hati-hati dan tidak teliti memeriksa dalam membelinya.

"Akta ganti rugi itu bukan lebih lemah dari sertifikat, karena sistem kita negatif sertifikatnya, tidak kuat. Kan yang dituntut si pembeli, ni. Pembeli tidak hati-hati memeriksa itu," jelasnya.

Oleh karena itu, ia meminta Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk benar-benar melihat secara objektif dan menerapkan segala aspek hukum yang berlaku.

"Dari segi perdata bahwa seseorang yang memiliki tanah harus jelas, tanpa itu dicantumkan maka sertifikat yang dikeluarkan itu menjadi cacat," terangnya.

Kemudian, Tan Kamello juga menjelaskan bahwa dalam transaksi jual beli tanah juga harus jelas perikatannya mengenai dari mana asal tanah itu pertama kali hingga siapa terakhir yang berhak atas tanah tersebut.

"Perikatan juga harus jelas. Dari mana diperoleh? Kewenangan siapa? Objeknya harus jelas. Kalau tidak, ini merupakan PMH. Jadi, PMH mewajibkan pihak lain mengganti kerugian atas perbuatan tersebut, baik disengaja maupun lalai," cetusnya. 

Apabila, lanjut Tan Kamello, ada perorang atau kelompok yang terbukti melakukan PMH dalam sengketa pertanahan, maka harus segera meninggalkan objek yang disengketakan tersebut.

"Bahwa orang yang tidak berhak, tidak berwenang, dan melalukan PMH harus didasarkan dengan putusan hakim dan itu harus angkat kaki dari objek sengketa," ketusnya.

Terpisah, Kuasa Hukum penggugat, Bambang H. Samosir SH MH dan rekan, meyakini PT JBI telah melakukan PMH. Hal itu berdasarkan keterangan Ahli Tan Kamello yang berlandaskan keilmuan.

"Dari fakta persidangan, dari ahli menjelaskan bahwa jelas kalau perkara ini adalah perkara memang benar PMH. Kalau dari pihak lawan saya tidak mau mengomentari, karena terjadi perdebatan yang tidak substansi. Kalau menurut hemat kita, dia perlu banyak belajar supaya bisa bertanya sama sekelas ahli Prof. Tan Kamello," ucapnya.

Dalam perkara ini, lanjut Bambang, pihaknya meminta Majelis Hakim untuk benar-benar memutus perkara ini berdasarkan keadilan. 

"Artinya, keterangan ahli ini berdasarkan keilmuan, jangan coba-coba ada oknum-oknum yang mau membelokkan ini, lurus saja," tandasnya.

Sebelum memeriksa saksi ahli, majelis hakim yang diketuai Lenny Megawaty Napitupulu terlebih dahulu memeriksa saksi Dodi Erlindo yang dihadirkan oleh penggugat melalui kuasa hukumnya. Saksi merupakan anak ke dua dari pemilik lahan sebelumnya yang bernama Nusril yang telah meninggal dunia pada 2019. Ia mengungkapkan bahwa tanah yang menjadi masalah dalam kasus ini merupakan tanah milik almarhum orang tuanya yang dibeli dari warga pada tahun 1980 an dengan luas 40 hektar lebih kurang. 

Selanjutnya kata saksi, almarhum orang tuanya menjual kepada Ir Rajasa Sula Sawirfin  pada tahun 1980-an juga dan dirinya sempat melihat akta surat jual beli. 

"Almarhum pernah cerita kalau tanah tersebut sedang bermasalah dan dikuasai oleh PT JBI. Orang tua saya juga pernah bilang kalau tanahnya sudah dijual ke Ir Rajasa Sula Sawirfin," terangnya. 

Majelis hakin juga terlihat memerintahkan kuasa dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan yang dalam perkara ini sebagai turut tergugat untuk membawa warkah (dokumen yang berkaitan dengan kepemilikan lahan) untuj ditunjukkan ke persidangan. 

"Majelis memerintahkan agar BPN segera membawa warkah kepersidangan. Biar disitu jelas kita lihat asal usulnya," ucap hakim anggota Frans Manurung. 

Usai mendengar keterangan kedua saksi, majelis hakim menunda sidang hingga 26 November 2024 dengan agenda masih mendengar keterangan ahli Hukum Agraria yakni Prof M Yamin dari FH USU yang dihadirkan kuasu hukum penggugat. (MC/DAF)
Share:
Komentar

Berita Terkini