Mediaapakabar.com - Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan bahwa kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, dengan jumlah pekerja yang terdampak mencapai 59.796 orang hingga akhir Oktober 2024.
Dalam tiga bulan terakhir, jumlah pekerja yang di-PHK meningkat sebanyak 25.000 orang, sebuah angka yang mengkhawatirkan pemerintah dan masyarakat.
Situasi ini menjadi fokus dalam rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh Menaker Yassierli bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta para kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Rapat tersebut bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ketenagakerjaan antara pemerintah pusat dan daerah serta memperkuat koordinasi dalam mengatasi lonjakan PHK yang terus meningkat.
"Per 31 Oktober 2024, kami mencatat adanya 59.796 pekerja yang terkena PHK. Angka ini menunjukkan peningkatan yang tajam, yakni sebanyak 25.000 orang hanya dalam tiga bulan terakhir," ujar Yassierli dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Jumat (1/11/2024).
Menanggapi krisis ini, Yassierli mengajak pemerintah daerah untuk membangun sistem peringatan dini (early warning system) guna mendeteksi potensi PHK di berbagai perusahaan.
Sistem ini diharapkan dapat menjadi langkah antisipasi agar pemerintah dapat memberikan upaya mitigasi lebih awal terhadap dampak sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh lonjakan PHK.
“Dengan menerapkan sistem peringatan dini, kami berharap dampak sosial dan ekonomi dari tingginya angka PHK bisa dimitigasi lebih baik, sehingga kesejahteraan pekerja dan masyarakat tetap terjaga,” jelasnya.
Penyebab Lonjakan PHK
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, menjelaskan beberapa faktor penyebab tingginya angka PHK.
Di antaranya adalah melemahnya ekspor produk tekstil dan garmen, efisiensi perusahaan akibat persaingan global yang ketat, serta digitalisasi yang merubah cara kerja perusahaan.
Selain itu, masalah serius terkait masuknya produk garmen ilegal ke pasar Indonesia juga menjadi faktor utama yang memperburuk situasi.
Hal ini menyebabkan perusahaan dalam negeri harus bersaing dengan produk murah, yang pada akhirnya mendorong perusahaan untuk melakukan pengurangan tenaga kerja sebagai upaya bertahan. (VC/MC)